Pada prinsipnya, hermeneutika selalu berkaitan dengan
bahasa. Setiap kegiatan manusia yang
berkaitan dengan berpikir, berbicara, menulis, dan menginterpretasikan selalu
berkaitan dengan bahsa. Realitas yang
masuk dalam semesta perbincangan manusia selalu sudah beruparealitas yang
terbahaskan, sebab manusia memahami dalam bahasa. (Bdk. Heidegger: language is
the house of being).
Kata-kata sebagai satuan unit bahasa terkecil yang memiliki
makna, selalu merupakan penanda-penanda yang kita berikan pada realitas. Pemberian penanda itu sendiri sudah selalu
berupa penafsiran. Oleh karena itulah
persoalan filsafat abad ke -20 ini selalu terkait dengan persoalan bahasa. Masalah pemahaman adalah masalah tekstual,
artinya begitu kita mau memahamirealita, ia sebenarnya sedang menafsirkansebuah
“teks”: “teks” itu sendiri seluas realitas.
Bahkan Derrida secara radikal menyatakan bahwa, “everything is text and
there is nothing beyond the text.”
Berbahasa selalu mengandaikan adanya dua dimensi: internal
dan eksternal. Dimensi internal adalh
situasi psikologis dan kehendak berpikir (intensi). Sedangkan dimensi eksternal adalahtindakan
menafsirkandan mengekspresikan kehendak batin dalam bentuk wujud lahir, yaitu
kata-kata yang ditujukan kepada “orang lain”.
Karena berbahasa selalu melibatkan penafsiran kehendak
batin, maka tidakla semua yang kita ucapkan senantiasa berhasil
mempresentasikan seluruh isi hati, pikiran, dan benak kita. Oleh karenanya, kebanaran sebuah bahasa bukan
semata-mata terletak pada susunan gramatikalnya saja, tetapi juga pada tata
pikir, inensi dan implikasi dari sebuah ucapan.
Dengan demikian, urgensi hermeneutika dan penerapannya cukup
luas pada ilmu-ilmu kemanusiaan (Geisteswissenchaften) atau ilmu pengetahuan
tentang kehidupan (life science); sejarah, hukum, agama, filsafat, seni,
kesusasteraan, linguistik, dan sebagainya.
Jika pengalaman manusia yang diungkapkan dalam bentuk bahasa tampak
asing bagi audiens, maka perlu ditafsirkan secara benar. (Edi Mulyono M.Ag)
0 komentar:
Posting Komentar